Memiliki pedoman dan peraturan pakem tertentu
Secara khusus, tari klasik telah memiliki pakem atau peraturan tertentu. Dengan adanya peraturan tersebut, maka susunan serta makna tariannya pun sudah jelas dan sesuai dengan peraturan.
Jika ada struktur yang diubah, maka secara makna juga dapat berubah. Oleh karena itulah, pakem maupun peraturan yang ada pada tarian klasik ini tidak boleh diubah.
Contohnya seperti tari Cakaleleng, ada dua versi dari tari Cakaleleng yaitu tari tradisional dan festival. Dua versi ini memiliki makna dan fungsi yang berbeda. Tari Cakaleleng tradisional memiliki fungsi sebagai upacara adat, sedangkan tari Cakaleleng festival memiliki fungsi sebagai media hiburan.
Apabila tidak dipisahkan, maka tari Cakaleleng bisa beralih fungsi dan kehilangan kemagisan atau unsur mistis yang ada pada tari Cakaleleng tradisional. Namun, tari Cakaleleng juga perlu dilestarikan, sehingga salah satunya adalah membuat versi baru yang berfungsi sebagai media hiburan.
Tari Bedhaya Ketawang
Tari Bedhaya Ketawang adalah tari klasik khusus kerajaan yang ditampilkan ketika ada acara penobatan dan upacara peringatan hari kelahiran Raja maupun Tingalandalem Jumenengan Sunan Surakarta.
Tari klasik satu ini diiringi oleh iringan musik gamelan yang lembut dan konon, diciptakan oleh Kanjeng Ratu Kencanasari atau yang dikenal dengan nama Ratu Kidul.
Istilah bedhaya memiliki makna penari perempuan istiana, sedangkan ketawang memiliki makna langit karena asal tari klasik ini adalah keterpesonaan seorang Sultan Agung yang mendengar suara senandung dari langit ketika sedang melamun sendirian.
Sumber lainnya mengatakan bahwa tari Bedhaya Ketawang memiliki makna yang berhubungan dengan suatu hal yang tinggi seperti keluhuran dan kemuliaan.
Hingga saat ini, tari klasik satu ini masih sering ditampilkan ketika ada acara penobatan ataupun hari peringatan kenaikan tahta dari Sultan Surakarta.
Tari klasik selanjutnya adalah tari Bondan yang berasal dari Jawa Tengah dan memiliki ciri khas yaitu properti yang digunakan berupa kandil, payung kertas serta boneka bayi yang digendong-gendong oleh para penari.
Menurut sejarah, tari Bondan wajib ditarikan oleh seorang kembang desa sebagai wujud dari pencarian dirinya. Tari Bondan sendiri menggambarkan mengenai seorang ibu yang sedang mengasuh anaknya.
Sementara itu, filosofi yang terkandung ialah seorang perempuan tidak hanya harus memiliki kecantikan fisik saja, tetapi juga harus memiliki kemampuan dalam mengasuh anak maupun merawat anaknya.
Tari Bondan diiringi oleh musik gending dan memiliki tiga jenis variasi yaitu tari Bondan Mardisiwi, tari Bondan Tani atau tari Bondan Pegunungan dan tari Bondan Cindogo.
Dalam pertunjukannya, para penari Bondan akan mengenakan busana berupa baju kutang, jamang, kain wiron dengan rambut yang disanggul rapi. Penari Bondan, biasanya akan menari dengan menggendong boneka bayi dengan satu tangan sementara tangan lainnya memegang payung kertas.
Pada satu babak, para penari akan memecahkan kendil kecil di hadapan para penonton. Secara keseluruhan, tari Bondan ini tidak hanya mengandung nilai artistik atau hiburan saja, tetapi juga mengandung makna filosofi mendalam bagi masyarakat.
Tari Dolalak merupakan tari klasik yang berasal dari Purworejo, Jawa Tengah dan nama tarian ini diambil dari not ‘do’ serta ‘la’ dikarenakan tarian ini diiringi oleh sepasang kening dan hanya memainkan dua nada itu saja.
Tidak seperti tari klasik lain yang memiliki latar belakang sejarah dari kisah agung maupun spiritual, tari Dolalak lahir dari rakyat pribumi yang menonton prajurit kolonial yang tengah beristirahat dari perang.
Prajurit tersebut kemudian berpesta dan minum-minum. Dari kisah tersebut, muncullah tari Dolalak dengan busana atau kostum tari yang menyerupai pakaian serdadu dari kolonial Belanda dan Perancis.
Para penari Dolalak, biasanya akan melakukan gerakan tari yang berbeda-beda dengan durasi tari yang cukup panjang yaitu selama 5 jam. Dari pementasan 5 jam tersebut, ada salah satu bagian di mana para penari akan kerasukan serta memakan sesajen yang telah disediakan.
Dahulu tari Dolalak hanya dapat ditarikan oleh penari laki-laki saja, tetapi dengan perkembangan zaman, saat ini para penari perempuan juga dapat menarikan tari Dolalak.
Tari Gambir Anom adalah tari klasik yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah dan mengisahkan tentang seorang Irawan Putra Arjuna yang tengah jatuh cinta pada seorang perempuan.
Kisah jatuh cinta ini dapat dilihat dari gerakan dalam tari Gambir Anom yang menarik gerakan pantomim seperti berdandan, bingung dan gerakan lainnya yang menunjukan bahwa Arjuna sedang jatuh cinta.
Tari Gambir Anom ditarikan dengan gerakan-gerakan gemulai dan diiringi oleh musik gamelan dengan tempo cepat. Tari klasik satu ini merupakan tarian yang ditarikan oleh penari tunggal laki-laki.
Akan tetapi, saat ini, tari Gambir Anom juga dapat ditarikan oleh penari perempuan dengan menggunakan properti berupa sayap yang khas dari tokoh pewayangan serta kuluk hanoman.
Tari Gambyong adalah tari klasik dari Surakarta dan digunakan untuk menyambut tamu besar keraton. Tari Gambyong mulanya berawal dari tarian tayub yaitu tarian yang dipentaskan ketika upacara penanaman padi serta masa panen.
Lalu, dibawakan oleh salah satu penari terkenal bernama Sri Gambyong, kemudian nama penari terkenal tersebut pun disematkan dan menjadi nama tarian klasik ini.
Pada mulanya, tari Gambyong adalah tari rakyat yang dipentaskan sebagai wujud syukur atas masa panen. Selain itu, rakyat juga meminta berkas pada Dewi Padi ketika musim tanam.
Akan tetapi, pihak istana tertarik dengan tarian ini dan akhirnya meminta Sri Gambyong untuk tampil di istana dan menghibur para bangsawan serta tamu terhormat.
Setelah itu, seorang pelatih tari pun membakukan tari Gambyong yang dikenal hingga saat ini. Secara keseluruhan, tari Gambyong menceritakan tentang Dewi Padi yang dipuji oleh masyarakat Surakarta, agar mendapatkan panen berlimpah dan berkah.
Itulah penjelasan tentang pengertian tari klasik adalah tari tradisional yang lahir di wilayah sekitar keraton atau kerajaan. Bagi Grameds yang tertarik dengan pengertian tari klasik atau seni tari, maka Grameds bisa mempelajarinya dengan membaca buku.
Sebagai #SahabatTanpaBatas, gramedia.com menyediakan berbagai macam buku seperti buku untuk belajar seni tari. Untuk mendukung Grameds dalam menambah wawasan, Gramedia selalu menyediakan buku-buku berkualitas dan original agar Grameds memiliki informasi #LebihDenganMembaca.
Jadi, tunggu apalagi, jangan ragu untuk membeli buku di Gramedia karena dijamin berkualitas dan original!
Gerakan tari klasik
Gerakan pada tari klasik tentu saja berbeda dengan gerakan pada tari modern maupun kontemporer. Jika diperhatikan, gerakan pada tari klasik umumnya akan jauh lebih lambat serta ditarikan dengan lemah lembut.
Sementara itu, setiap gerakan yang ditampilkan dengan lambat tersebut, tetap memiliki unsur keindahan dan nilai estetik, sehingga penonton tidak akan bosan melihatnya.
Pada umumnya, tari klasik memiliki gerakan yang penuh makna. Setiap penari tidak perlu melakukan gerakan yang tidak diperlukan. Contohnya pada gerakan tangan melambai-lambai pada tari Cakalele yang ditarikan oleh penari perempuan, gerakan tersebut memiliki makna melepas kepergian pejuang yang akan pergi berperang.
Pada tari klasik, sudah ditetapkan peraturan yang pakem dan harus diikuti oleh setiap penarinya. Gerakan pada tari klasik juga telah terstruktur sejak awal kemunculannya hingga saat ini.
Kata klasik termasuk kata apa?
Kata klasik adalah Kata Adjektiva (kata sifat).
Fungsi tari klasik
Secara fungsional, tari klasik memiliki fungsi yang berbeda-beda. Namun pada umumnya, fungsi dari tari klasik berkaitan dengan urusan atau kegiatan yang ada di keraton maupun kerajaan.
Contohnya seperti penobatan, penyambutan tamu terhormat atau sebagai hiburan di wilayah keraton. Seluruh kegiatan ini, biasanya akan menggunakan tari klasik sebagai salah satu aspek di dalamnya.
Dengan adanya tari klasik, maka kegiatan yang dihelat di dalam keraton pun akan menjadi lebih menarik. Ciri khas dari tari klasik adalah mewah dan anggun, untuk menambahkan kesan indah dari pertunjukan yang digelar di sekitar wilayah keraton.
Agar lebih jelas memahami tari klasik adalah tari tradisional yang tumbuh di sekitar wilayah keraton, maka berikut beberapa contoh dari tari klasik Indonesia.
Tari Bedhaya adalah tari klasik dari Jawa yang ditarikan oleh kalangan keraton Surakarta dan pewaris dari tahta Kerajaan Mataram. Tari Bedhaya pada umumnya ditarikan oleh penari perempuan dengan gerakan yang gemulai dan diiringi oleh tembang yang berasal dari iringan musik gamelan Jawa.
Tari klasik yang satu ini memiliki beberapa versi yang mana, terkadang memberi syarat khusus dalam setiap pementasannya. Contohnya seperti penari harus masih perawan dan tidak sedang mengalami menstruasi atau harus melaksanakn puasa sebelum tampil.
Gerakan tari klasik
Gerakan pada tari klasik tentu saja berbeda dengan gerakan pada tari modern maupun kontemporer. Jika diperhatikan, gerakan pada tari klasik umumnya akan jauh lebih lambat serta ditarikan dengan lemah lembut.
Sementara itu, setiap gerakan yang ditampilkan dengan lambat tersebut, tetap memiliki unsur keindahan dan nilai estetik, sehingga penonton tidak akan bosan melihatnya.
Pada umumnya, tari klasik memiliki gerakan yang penuh makna. Setiap penari tidak perlu melakukan gerakan yang tidak diperlukan. Contohnya pada gerakan tangan melambai-lambai pada tari Cakalele yang ditarikan oleh penari perempuan, gerakan tersebut memiliki makna melepas kepergian pejuang yang akan pergi berperang.
Pada tari klasik, sudah ditetapkan peraturan yang pakem dan harus diikuti oleh setiap penarinya. Gerakan pada tari klasik juga telah terstruktur sejak awal kemunculannya hingga saat ini.
Ciri-Ciri Tari Klasik
Salah satu ciri dari tari klasik adalah tidak dapat diubah, karena memiliki peraturan yang pakem. Apabila diubah, maka dikhawatirkan akan merubah makna filosofis dari tarian tersebut yang telah ada sejak lama. Selain tidak dapat diubah, ada pula ciri lain dari tari klasik, berikut penjelasannya.
Keunikan, Fungsi, dan Gerakan Tari Klasik
Kata-kata di KBBI yang dekat dari klasik
Tip: doubleclick kata di atas untuk mencari cepat
[klasik] Arti klasik di KBBI adalah: mempunyai nilai atau mutu yang diakui dan menjadi tolok ukur kesempurnaan yang abadi; tertinggi;. Lihat arti dan definisi di jagokata.
Database utama KBBI merupakan Hak Cipta Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud (Pusat Bahasa)
Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.
Wenn dies deiner Meinung nach nicht gegen unsere Gemeinschaftsstandards verstößt,
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tari Topeng adalah tarian yang penarinya mengenakan topeng. Topeng telah ada di Indonesia sejak zaman pra-sejarah. Secara luas digunakan dalam tari yang menjadi bagian dari upacara adat atau penceritaan kembali cerita-cerita kuno dari para leluhur. Diyakini bahwa topeng berkaitan erat dengan roh-roh leluhur yang dianggap sebagai interpretasi dewa-dewa. Pada beberapa suku, topeng masih menghiasi berbagai kegiatan seni dan adat sehari-hari.
Cerita klasik Ramayana dan cerita Panji yang berkembang sejak ratusan tahun lalu menjadi inspirasi utama dalam penciptaan topeng di Jawa. Topeng-topeng di Jawa dibuat untuk pementasan sendratari yang menceritakan kisah-kisah klasik tersebut.
Tari Topeng dapat merujuk kepada beberapa bentuk kesenian:
Di daerah Pulau Kalimantan, suku Dayak menggunakan topeng dalam Tari Hudog yang sering dimainkan dalam upacara keagamaan dari kelompok suku Dayak Bahau dan Modang. Tari ini dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak. Topeng yang digunakan berwarna hitam, putih, dan merah yang melambangkan kekuatan alam yang akan membawa air dan melindungi tanaman yang mereka tanam hingga musim.
Keberadaan topeng dalam masyarakat Bali berkaitan erat dengan upacara keagamaan Hindu, karena kesenian luluh dalam agama dan masyarakat. Tari Topeng Bali adalah sebuah tradisi yang kental dengan nuansa ritual magis, umumnya yang ditampilkan di tengah masyarakat adalah seni yang disakralkan. Tuah dari topeng yang merepresentasikan dewa-dewa dipercaya mampu menganugrahkan ketenteraman dan keselamatan.
Tari Topeng Cirebon adalah kesenian tari topeng yang berkembang di Cirebon, Jawa Barat.
Topeng Malang adalah kesenian tari topeng dari daerah Malang, Jawa Timur. Kisah yang dibawakan biasanya berasal dari kisah Panji yang menceritakan kisah percintaan Raden Panji Asmoro Bangun (Inu Kertapati) dengan Putri Sekartaji (Chandra Kirana).
Lebih lazim disebut tari Reog Ponorogo, tari ini juga mengenakan topeng yang berasal dari Ponorogo.
Topeng Ireng adalah satu bentuk tradisi seni pertujukan yang berasimilasi dengan budaya lokal Jawa Tengah. Topeng Ireng yang juga dikenal sebagai kesenian Dayakan[1] ini adalah bentuk tarian rakyat kreasi baru yang merupakan hasil metamorfosis dari kesenian Kubro Siswo.[2]
Tari Topeng Cirebon (Bahasa Cirebon: beksan topeng Cerbon) adalah salah satu tarian di wilayah kesultanan Cirebon. Pada awalnya tari topeng bermula sejak era Jawa Kuno di Jawa Timur. Pada masa-masa selanjutnya berkembang dan menyebar ke Jawa Tengah, Cirebon, bahkan juga Banjar dan Kutai. Tari Topeng Cirebon, berkembang di daerah Cirebon, termasuk Subang, Indramayu, Jatibarang, Majalengka, Losari, dan Brebes. Disebut tari topeng karena penarinya menggunakan topeng di saat menari. Pada pementasan tari Topeng Cirebon, penarinya disebut sebagai dalang, dikarenakan mereka memainkan karakter topeng-topeng tersebut.
Tari topeng ini sendiri banyak sekali ragamnya dan mengalami perkembangan dalam hal gerakan, maupun cerita yang ingin disampaikan. Terkadang tari topeng dimainkan oleh satu penari tarian solo, atau bisa juga dimainkan oleh beberapa orang.
Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java mendeskripsikan bahwa kesenian topeng Cirebon merupakan penjabaran dari cerita Panji dari Jawa Timur di mana dalam satu kelompok kesenian topeng terdiri dari dalang (yang menarasikan kisahnya) dan enam orang pemuda yang mementaskannya diiringi oleh empat orang musisi gamelan (bahasa Cirebon: Wiyaga)[1]
Tari Topeng Cirebon pada zaman dahulu biasanya dipentaskan menggunakan tempat pagelaran yang terbuka berbentuk setengah lingkaran, misalnya di halaman rumah, di blandongan (bahasa Indonesia: tenda pesta) atau di bale (bahasa Indonesia: panggung) dengan obor sebagai penerangannya. tetapi dengan berkembangnya zaman dan teknologi, tari Topeng Cirebon pada masa modern juga dipertunjukan di dalam gedung dengan lampu listrik sebagai tata cahayanya.[2]
Tujuan diselenggarakan suatu pagelaran tari Topeng Cirebon secara garis besar dibagi kedalam tiga tujuan utama yaitu;[3]
Struktur pagelaran dalam tari Topeng Cirebon bergantung pada kemampuan rombogan, fasilitas gong yang tersedia, jenis penyajian topeng dan lakon (bahasa Indonesia: cerita) yang dibawakannya. Secara umum, struktur pertunjukan tari Topeng Cirebon dapat dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu:
Salah satu jenis lainnya dari tari topeng ini adalah tari topeng kelana kencana wungu merupakan rangkaian tari topeng gaya Parahyangan yang menceritakan ratu Kencana wungu yang dikejar-kejar oleh prabu Minakjingga yang tergila-tergila padanya. Pada dasarnya masing-masing topeng yang mewakili masing-masing karakter menggambarkan perwatakan manusia. Kencana Wungu, dengan topeng warna biru, mewakili karakter yang lincah namun anggun. Minakjingga (disebut juga kelana), dengan topeng warna merah mewakili karakter yang berangasan, tempramental dan tidak sabaran. Tari ini merupakan karya Nugraha Soeradiredja.
Pada tari Topeng Cirebon terdapat beberapa gaya tarian yang secara yang telah diakui secara adat,[4][5] gaya-gaya ini berasal dari desa-desa asli tempat di mana tari Topeng Cirebon lahir dan juga dari desa lainnya yang menciptakan gaya baru yang secara adat telah diakui lepas dari gaya lainnya. Endo Suanda seorang peneliti tari Cirebon melihat perbedaan gaya tari Topeng Cirebon antar daerah tersebut dikarenakan adanya penyesuaian selera penonton dengan nilai estetika gerak tarian di atas panggung,[5] berikut beberapa gaya tari Topeng Cirebon:
Tari Topeng Cirebon gaya Beber adalah salah satu gaya tari Topeng Cirebon yang lahir di desa Beber, kecamatan Ligung, kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Sejak abad ke 17, awalnya tari Topeng yang ada di desa Beber dibawa oleh seorang seniman dari Gegesik, Cirebon yang bernama Setian, tetapi menurut para ahli Dalang Topeng Cirebon gaya Beber seperti mimi Yayah dan Ki Dalang Kardama yang pertama kali membawa tarian Topeng ke desa Beber dan menjadi tari Topeng Cirebon gaya Beber adalah mimi Sonten dan Surawarcita yang masih berasal dari Gegesik sejak itu menurunkan beberapa generasi para seniman.
Pembagian babak pada tari topeng Cirebon gaya Beber menurut Ki Andet Suanda dilakukan dengan berdasar para interpretasi tentang sifat dan kesadaran manusia.[6]
Babak Rumyang pada tari Topeng Cirebon gaya Beber dipentaskan di akhir pagelaran, menurut Ki Pandi Surono (budayawan Cirebon sekaligus maestro tari Topeng Cirebon gaya Beber) pada masa lalu pagelaran tari Topeng Cirebon terutama gaya Beber dilakukan pada malam hari dan babak Rumyang dipentaskan mendekati terbitnya matahari saat sinar matahari terlihat samar-samar (bahasa Cirebon: ramyang-ramyang) dari kata ramyang inilah kemudian babak ini dinamakan, keterangan lebih lanjut tentang filosofi babak rumyang yang dipentaskan diahkhir setelah babak Topeng Klana yang merupakan proyeksi dari jiwa yang penuh nafsu dan emosi dijelaskan oleh Ki Waryo (budayawan Cirebon sekaligus dalang Wayang Kulit Cirebon gaya Kidulan (Palimanan) dan seorang ahli pembuat Topeng Cirebon) putera dari Ki Empek. Ki Waryo menjelaskan bahwa filosofi dari Rumyang terkait dengan sebuah proyeksi jiwa manusia yang sudah meninggalkan nafsu duniawinya dan menjadi manusia yang utuh (manusia harum) karena sudah tidak terbelenggu lagi dengan nafsu duniawi. Rumyang diartikan kedalam dua buah kata yaitu arum (bahasa Indonesia: harum) dan yang (bahasa Indonesia: manusia / orang) sehingga Rumyang diartikan secara harafiah menjadi manusia yang harum
Para dalang tari Topeng Cirebon yang terkenal jamannya di antaranya Andet Suanda, Ening Tasminah, H. Warniti yang kesemuanya telah almarhum, Generasi berikutnya yaitu Rohati (anak tunggal dari Ening Tasminah), Iyat (telah almarhum), Iis, Nengsih, juga para buyut, cucu serta pewarisnya yaitu Yayah, istri dari Ki dalang Suhadi di desa Randegan (sekarang telah mekar menjadi desa Randegan Kulon dan desa Randegan Wetan, kecamatan Jatitujuh, kabupaten Majalengka), Een di Beber dan Ki Pandi Surono (anak dari dalang Rohati dan cucu dari dalang Ening Tasminah) yang membina Sanggar Anggraeni.
Menurut Babad Tanah Losari diceritakan bahwa Pangeran Angkawijaya pergi ke Losari dari kesultanan Cirebon menepi dari kehidupan Keraton karena tidak ingin terkungkung dengan sistem kehidupan kesultanan yang serba gemerlap. Selain itu, menepinya Pangeran Angkawijaya dari kesultanan Cirebon karena adanya konflik Internal soal perjodohan antara dirinya dengan kakaknya yakni Panembahan Ratu.[7]
Saat itu Panembahan Ratu yang termasuk kakak Angkawijaya hendak menikahi putri dari Raja Pajang yakni Nyai Mas Gamblok, sebenarnya putri Gamblok lebih menyukai Pangeran Angkawijaya, tetapi karena urutan usia, Panembahan Ratu yang lebih tua menyatakan berhak mengawini Nyai Mas gamblok, menghindari hal yang tidak dinginkan terjadi, Pangeran Pangeran Angkawijaya lalu pergi ke arah timur dari tanah Cirebon hingga menetap di daerah pedukuhan pinggir sungai Cisanggarung yang akhirnya dinamakan Losari, dari tempat ini kemudian Pangeran Angkawijaya mengembangkan keterampilannya di bidang seni, beberapa hasil kreasinya diyakini adalah batik Cirebon motif Gringsing dan tari Topeng Cirebon gaya Losari.
Pangeran Angkawijaya tercatat meninggal pada tahun 1580 dan dimakamkan di desa Losari lor, kecamatan Losari, kabupaten Brebes.
Tari Topeng Cirebon gaya Brebes sebenarnya merupakan tari Topeng Cirebon gaya Losari yang mendapatkan banyak pengaruh lokal, termasuk dari segi alur ceritanya.
Tari Topeng Cirebon gaya Brebes adalah jenis tari Topeng Cirebon yang berkembang di wilayah kecamatan Losari, kabupaten Brebes yang mendapat pengaruh dari kebudayaan Jawa.
Tari Topeng Cirebon gaya Brebes menceritakan legenda Joko Bluwo, seorang pemuda petani desa yang berwajah buruk rupa berkeinginan untuk mempersunting putri raja yang cantik jelita bernama Putri Candra Kirana. Dikisahkan, keinginan Joko Bluwo akhirnya dikabulkan sang raja, setelah Joko Bluwo memenuhi syarat yang diajukan Raja.
Namun, di tengah pesta pernikahan, seorang raja dari kaum raksasa yang juga berkeinginan menikahi putri Candra Kirana datang dan membuat kekacauan. Dia mengajak bertarung pada Joko Bluwo untuk memperebutkan sang putri. Joko Bluwo akhirnya berhasil mengalahkan raja raksasa dan hidup bahagia bersama putri Candra Kirana.
' Tari Topeng Cirebon gaya Celeng adalah salah satu gaya tari Topeng Cirebon yang penyebarannya berpusat di blok (bahasa Indonesia: dusun) Celeng, desa Loh Bener, kecamatan Loh Bener, kabupaten Indramayu
Lagu atau musik pengiring yang digunakan pada pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Celeng ternyata memiliki kesamaan dengan musik pengiring yang dipergunakan pada gaya Gegesik dan Slangit namun dengan beberapa kekhasan tersendiri, misalnya pada tetaluan (bahasa Indonesia: tabuhan gamelan) Kembang Sungsang jika gongnya ada dua maka nada yang dimainkan adalah miring dan susul saja, sedangkan jika terdapat tiga gong, tetaluan kembang sungsang nada yang dimainkan adalah miring, susul dan sanga.
Asal usul gaya Celeng dipercaya dibawa oleh Ki Kartam (seorang ahli dalang wayang dan dalang topeng) dari wilayah Majakerta yang merupakan kakak dari Ki Panggah (yang melestarikan tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara di kabupaten Subang), sementara kedekatan gerak tarian antara gaya Celeng dengan gaya Pekandangan disebabkan mimi Rasinah yang aslinya berasal dari desa Pamayahan,kecamatan Loh Bener, kabupaten Indramayu belajar seni dalang topeng kepada ibu (bahasa Cirebon dialek Dermayu: emak) Suminta, ibu dari Ki Dalang Haji Rusdi dan nenek (bahasa Cirebon dialek Dermayu: Mak tuwa) dari budayawan Cirebon asal Indramayu Ady Subratha, kemudian mimi Rasinah pindah ke desa Pekandangan, kecamatan Indramayu, kabupaten Indramayu dan mempopulerkan tari Topeng Cirebon gaya Pekandangan, inilah yang menyebabkan ada beberapa gerak tarian yang terkesan mirip antara gaya Celeng dengan gaya Pekandangan
Pada masa kejayaan gaya Celeng, ada seorang dalang Topeng lain yang terkenal selain emak Suminta, yaitu emak Sukesah yang masih saudara dengan emak Suminta. Emak Sukesah kemudian menikah dengan Ki dalang Sajim (dalang Wayang Kulit Cirebon) dari kecamatan Pegaden, kabupaten Subang, keluarga Ki Sajim kemudian ada yang meneruskan menjadi dalang Wayang Kulit Cirebon diantaranya adalah Ki Sukardi dan Ki Casta.
Tari Topeng Cirebon gaya Cibereng merupakan ragam tari Topeng Cirebon yang ada di desa Cibereng, kecamatan Trisi, kabupaten Indramayu
Dalang tari Topeng Cirebon gaya Cibereng yang terkenal salah satunya adalah Ki dalang Carpan.
Tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara adalah salah satu gaya tari Topeng Cirebon yang wilayah penyebarannya berada di sekitar kecamatan Pegaden hingga ke bantaran sungai Cipunegara yang merupakan perbatasan dengan kabupaten Indramayu. Perkembangan kebudayaan di wilayah Cipunegara (termasuk di sebagian besar daerah dataran rendah kabupaten Subang) tidak terlepas dari kontribusi masyarakatnya. Tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara ini oleh masyarakatnya disebut sebagai tari Topeng Menor, karena kemerduan suara dan kecantikan para penarinya.[8]
Pusat tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara berada di desa Jati, kecamatan Cipunegara dan desa Gunung Sembung, kecamatan Pegaden, kabupaten Subang. Dikarenakan desa Jati terkenal sebagai salah satu pusat tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara, maka tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara ini juga dikenal dengan nama tari Topeng Jati.
Willy Sani dalam penelitiannya tentang tari Topeng Menor menyatakan bahwa bahasa pengantar yang digunakan dalam pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara ini adalah bahasa Sunda, bahasa pengantar yang digunakan tersebut berbeda dengan kebanyakan gaya tari Topeng Cirebon dari wilayah Cirebon dan Indramayu yang menggunakan bahasa Cirebon sebagai bahasa pengantaranya. Keunikan yang terjadi semata-mata dikarenakan alkulturasi budaya antara budaya Cirebon dengan budaya Sunda dikarenakan dalam pementasan tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara tersebut juga didatangi oleh masyarakat Sunda yang kurang paham dengan bahasa Cirebon sehingga bahasa Sunda digunakan sebagai bahasa pengantar pementasan agar pesan-pesan yang berusaha disampaikan dalam setiap babak tariannya dapat dengan mudah dimengerti oleh masyarakatnya. Namun demikian, Willy Sani juga mengatakan bahwa penggunaan bahasa Sunda tidak berarti jika nayaga (penabuh gamelan) dan para Dalang Topeng tersebut tidak bisa menggunakan bahasa Cirebon, sebaliknya mereka semua fasih menggunakan bahasa Cirebon walau selama pementasan harus menggunakan bahasa Sunda agar penonton memahami setiap isi babak.
Berbeda dengan musik pengiring tari Topeng Cirebon yang terdapat di wilayah kabupaten Cirebon dan kabupaten Indramayu yang menggunakan instrumen musik bernuansa khas Cirebonan seperti Gamelan cirebon dan sejenisnya. Pada tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara, musik pengiringnya justru menggunakan musik-musik Bajidoran yang merupakan seni khas kebudayaan Sunda di kabupaten Subang dan kabupaten Karawang.[9]
Dalang-dalang topeng yang berada diwilayah Pegaden dan Cipunegara bisa dikatakan seluruhnya merupakan keturunan dari Dalang Panggah. Dalang Carni dan Dalang Ratem merupakan dua orang dalang dari wilayah Cipunegara yang hingga kini masih terbilang aktif melestarikan gaya Cipunegara.
Tari Topeng Cirebon gaya Gegesik memiliki daerah penyebaran di sekitar kecamatan Gegesik, kabupaten Cirebon. Pada tari Topeng Cirebon gaya Gegesik yang paling terlihat berbeda adalah raut karakteristik topengnya. Topeng Panji pada gaya Gegesik digambarkan dengan karakteristik wajah berwarna putih dengan raut tenang, mata sipit dengan tatapan yang selalu merunduk tajam, hidung mancung dan senyum yang terkulum[10]
Di Gegesik yang merupakan salah satu pusat perkembangan kesenian cirebon, termasuk kesenian tari Topeng Cirebon, penari atau dalang tari Topeng Cirebon kini tidak sebanyak dulu ketika masa jayanya, menurut budayawan Cirebon bapak Nurdin Noer yang juga merupakan ketua Lembaga Basa lan Sastra Cirebon
Pada tiga dekade yang lalu hampir semua warga di Gegesik bisa menari topeng, entah itu anak penari ataupun petani biasa. Topeng pun menjadi sesuatu yang wajib dipunyai. Namun, kini hal itu tak berlaku lagi, jumlah penari hanya bisa dihitung dengan jari
Pada perkembangan sebuah kesenian termasuk tari Topeng Cirebon gaya Gegesik, perubahan adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari. Perubahan yang terjadi pada tari Topeng Cirebon gaya Gegesik kebanyakan dipengaruhi oleh struktur masyarakat urban serta berperannya sekolah kesenian, modernisasi, peristiwa, politik dan perubahan pandangan pewaris topeng, terutama sekitar tahun 1980 hingga tahun 2000. Perubahan tari Topeng Cirebon gaya Gegesik terutama terjadi pada cara dan bentuk penyajiannya, sehingga pada masa itu pertunjukan topeng dicampur dengan dangdut atau yang oleh masyarakat disebut sebagai topeng-dangdut.[11]
Lagu atau musik pengiring yang digunakan pada pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Gegesik ternyata memiliki kesamaan dengan musik pengiring yang dipergunakan pada gaya Slangit, berikut nama-nama musik pengiringnya ;
Gerakan tari pada gaya Gegesik dapat dilihat pada pemaknaan gerak di masing-masing alur ceritanya, di antaranya adalah gerakan tangan temple bahu dan cantel pada alur cerita topeng Panji.
Gerakan tangan temple bahu diartikan sebagai tiruan dari gerak jalan Dewi Anggraeni sementara gerakan cantel dapat diartikan bahwa Raden Panji akan berhasil menikahi Dewi Anggraeni.
'Pada gaya Gegesik, babak (alur cerita) tariannya hampir sama dengan babak tarian yang ada di gaya-gaya tari Topeng Cirebon wilayah barat, penamaan babak pada pementasan tari Topeng Cirebon pada wilayah barat hanyalah mengambil namanya saja untuk menggambarkan kesamaan watak, para dalang topeng Cirebon pada umumnya tidak mengaitkan tariannya dengan tokoh Panji seperti dalam cerita Panji. Artinya, nama tari tersebut bukan sebagai gambaran tokoh Panji. Kata Panji hanya dipinjam untuk menyatakan salah satu karakter tari yang halus, yang secara kebetulan karakternya sama dengan tokoh Panji. Berbeda dengan di Losari, Topeng Panji justru ditarikan dalam sebuah lakonan dan penarinya benar-benar memerankan tokoh Panji seperti yang ada di cerita Panji.[12]
Perbedaan babak antara tari Topeng Cirebon gaya Gegesik dengan Slangit yang sama-sama berasal dari kabupaten Cirebon wilayah barat terletak pada susunan babaknya, jika pada gaya Gegesik babak rumyang ditampilkan pada urutan keempat atau kelima, maka pada gaya Slangit babak tersebut ditampilkan pada urutan ketiga. Berikut babak pada tari Topeng Cirebon gaya Gegesik ;
Sebagian budayawan Cirebon yang menyimak keterangan Ki Rawita (maestro tari Topeng Cirebon gaya Randegan) bahwa babak rumyang seharusnya ditarikan pada bagian akhir kemudian menyatakan hal yang sama jika pada zaman dahulu babak rumyang pada tari Topeng Cirebon gaya Gegesik juga ditarikan pada akhir pagelaran sama dengan yang terjadi pada gaya Randegan, hanya saja para budayawan Cirebon kurang mengingat kapan terjadinya peralihan babak rumyang yang sebelumnya ditarikan di akhir babak menjadi di tengah babak pada pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Gegesik. Ki Waryo (maestro kesenian Cirebon sekaligus dalang tari Topeng Cirebon gaya Palimanan) berpendapat bahwa peralihan babak rumyang dari akhir pagelaran menjadi babak di tengah pagelaran diperkirakan terjadi pada periode tahun 1970-an di mana pada periode tersebut para dalang tari Topeng di Cirebon banyak didatangi oleh para peneliti dan kemungkinan para peneliti ini memberikan persfektif baru bagi para dalang Topeng terutama dalang tari Topeng Cirebon gaya Gegesik sekaligus mengubah persfektif tariannya dari semula berfokus pada perkembangan jiwa yang merupakan ciri dari pementasan tari Topeng Cirebon dengan babak rumyang di akhir menjadi berfokus pada pertumbuhan manusia secara fisik yang merupakan ciri dari pementasan tari Topeng Cirebon dengan babak rumyang di tengah.
Di wilayah kecamatan Gegesik juga terdapat banyak dalang topeng, para dalang tersebut kebanyakan berasal dari keturunan para maestro tari Topeng Cirebon gaya Gegesik yaitu Mutinah, Lesek dan Jublag. Keturunan dalang Mutinah yang bisa ditelusuri adalah dalang Juniah, sementara keturunan dalang Lesek adalah dalang Sumarni dan yang terakhir keturunan dalang Jublag adalah dalang Baerni dan Baedah yang keduanya masih dapat dikatakan aktif walau sudah sangat jarang diundang tampil di masyarakat.
Dalang Baerni kini pindah ke wilayah kecamatan Pegaden, kabupaten Subang untuk mengikuti suaminya yang bekerja sebagai guru Sekolah Menengah Pertama (SMP), sedangkan dalang Baedah juga mengikuti suaminya pindah ke wilayah kota Cirebon
Tari Topeng Cirebon gaya Gujeg tersebar disekitar desa Gujeg, kecamatan Panguragan, kabupaten Cirebon.
Gaya Gujeg sangat memprihantinkan, dikarenakan sepeninggal dalang Noglo, di wilayah desa Gujeg sudah tidak terdengar lagi adanya dalang topeng penerusnya lahir.[4]
Tari Topeng Cirebon gaya Kalianyar sama seperti gaya Gujeg yang berada di dalam wilayah kecamatan Panguragan, gaya Kalianyar terpusat disekitar desa Kalianyar, wilayah pusat penyebaran gaya Kalianyar ini hanya dipisahkan oleh kali Winong disebelah timur dengan desa Gujeg dan hanya beberapa kilometer ke selatan dari wilayah ini sudah dapat ditemui gaya Slangit di desa Slangit dan gaya Kreyo di desa Kreyo
Di wilayah Kalianyar terdapat beberapa dalang tari Topeng, di antaranya dalang Sutini yang sudah pensiun karena faktor usia dan dalang Kasniri yang masih aktif.
Tari Topeng Cirebon gaya Kreyo terpusat di desa Kreyo, kecamatan Klangenan, kabupaten Cirebon yang hanya terpisahkan dengan desa Slangit disebelah timur oleh ruas jalan antar kecamatan yang menghubungkan kecamatan Klangenan dengan kecamatan Panguragan
Pada masa jayanya, gaya Kreyo memiliki seorang dalang tari Topeng yang terkenal, dia bernama Tarmi atau biasa dikenal dengan nama dalang Tarmi, sekarang yang ada hanyalah dalang Tumus, tetapi dia lebih sering menjadi nayaga (penabuh gamelan) kelompok tari Topeng Cirebon milik dalang Keni Arja (seorang maestro Topeng Cirebon gaya Slangit)[13] sebagai penabuh saron penimbal.
Tari Topeng Cirebon gaya Losarang memiliki daerah penyebaran inti di kecamatan Losarang,Kabupaten Indramayu
Tari Topeng Cirebon gaya Losari memiliki daerah penyebaran di sekitar kecamatan Losari, kabupaten Cirebon dan kecamatan Losari, kabupaten Brebes, menurut maestro tari Topeng Cirebon Irawati Ardjo, lokasi Losari yang berbatasan dengan wilayah Jawa Tengah membuat tari Topeng Cirebon gaya Losari banyak dipengaruhi elemen-elemen budaya jawa, keterangan serupa juga diberikan oleh Dr. Een Herdiani dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, menurut dia perbedaan yang menjadi ciri khas tari Topeng Cirebon gaya Losari ada pada musik pengiringnya, gerakan tari dan pakaian penarinya.[14]
Pada kebanyakan penari Topeng Cirebon terutama yang mendalami gaya-gaya tari Topeng Cirebon dari wilayah barat seperti gaya Slangit, maka akan ditemukan pakaian penarinya menggunakan kain batik khas cirebon motif mega mendung, hal ini berbeda dengan pakaian para penari Topeng Cirebon gaya Losari yang menggunakan kain batik motif parang yang merupakan motif khas batik dari budaya jawa.
Musik pengiring pada gaya Losari menggunakan gamelan yang dipengaruhi oleh budaya jawa. Pada saat tampil menari, penari Topeng Cirebon gaya Losari menjadikan kotak topeng dan para nayaga (penabuh gamelan) sebagai sebuah pusat pertunjukan, oleh karenanya banyak kelompok tari Topeng Cirebon gaya Losari yang menjaga harga diri dan kesucian ritual tariannya, beberapa kelompok tari Topeng Cirebon gaya Losari juga menolak jika pertunjukannya harus diselingi dengan pertunjukan musik dangdut atau organ tunggal sesuai dengan permintaan penonton. Berikut merupakan musik pengiring dari pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Losari ;
Pada gaya Losari, gerakan tidak hanya berpaku pada pola geometris seperti yang biasa dilakukan pada kebanyakan gaya tari Topeng Cirebon, tetapi juga menggunakan pola gerakan yang luwes.[14] Gerakan yang menjadi khas gaya Losari di antaranya adalah ;[15]
Berbeda dengan kebanyakan tingkatan babak (alur cerita) tari Topeng Cirebon dari wilayah barat yang memiliki lima tingkatan yaitu ;
Pada gaya Losari, alur cerita atau urutan tari tidak mengutamakan pada pembabakan cerita secara watak, tetapi lebih kepada teknik dan penjiwaan karakternya. Ada delapan tingkatan alur cerita pada tari Topeng Cirebon gaya Losari, yaitu ;
Berbeda dengan gaya tari Topeng Cirebon dari wilayah barat di mana kelima babaknya bisa dibawakan seluruhnya oleh seorang penari, pada gaya Losari, setiap alur cerita atau babak dapat dibawakan oleh penari yang berbeda-beda.
Di dalam gaya Losari, dalang yang terkenal di antaranya adalah almarhumah Sawitri dan Dewi dari sanggar tari Topeng Cirebon Purwa Kecana, perjuangan melestarikan gaya Losari kemudian diteruskan kepada keturunannya, di antaranya Taningsih, Nur Anani, Kartini, Srinarti, Warsono dan Susana.[4]
Tari Topeng Cirebon gaya Palimanan tersebar disekitar kecamatan Palimanan dan sekitarnya.
Musik pengiring yang digunakan pada pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Palimanan diantaranya adalah ;
Tetaluan yang dibawakan untuk mengiringi pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Palimanan kurang lebih memiliki kesamaan dengan yang ada pada gaya Gegesik yaitu dengan dimainkannya tetaluan Kembang Sungsang, Kembang Kapas dan Gonjing, kesamaan pada gaya Losari bisa dilihat dari dimainkannya tetaluan Bendrong pada babak Jingga Anom, kedekatan ini kemungkinan terjadi karena menurut penuturan para budayawan dahulu, sesepuh tari Topeng Cirebon gaya Palimanan berasal dari wilayah timur kabupaten Cirebon tepatnya di wilayah kecamatan Astana Japura, kabupaten Cirebon.
Babak tarian yang dibawakan pada gaya Palimanan hampir serupa dengan yang ada pada gaya Beber dan Randegan namun dengan penambahan babak Klana Udeng sebagai akhir dari pagelarannya.
Selain lima babak yang ada biasa ditampilkan, menurut Ki Waryo (maestro tari Topeng Cirebon gaya Palimanan) pada masa lalu di dalam gaya Palimanan juga dipentaskan tarian Ratu Kencana Wungu yang dibuktikan dengan keberadaan topeng ini yang tersimpan pada dalang tari Topeng Cirebon gaya Palimanan
Tari Topeng Cirebon gaya Palimanan memiliki ciri khas pada berbagai macam posisi berdiri yang diciptakan oleh dalang Wentar, posisi-posisi tersebut disesuaikan dengan postur tubuh dan kepantasan penarinya, ditambah dengan penafsiran yang berbeda dalam meresapi watak dalam cerita topeng, membuat gerakan tarian Topeng gaya Palimanan ini berbeda.
Para dalang tari Topeng Cirebon gaya Palimanan sebagian besar merupakan keturunan dari dalang Wentar, Ki Dalang Wentar mempunya beberapa orang anak diantaranya Mimi Mini, Mimi Ami, Ki Dalang Saca, Mimi Nesih dan Mimi Soedji, di antara keturunan dari Wentar yang terkenal adalah Tursini anak dari dalang Soedji seorang maestro tari Topeng Cirebon gaya Palimanan. Beberapa keturunan dalang Wentar tidak hanya berdiam di kecamatan Palimanan saja. namun menyebar ke wilayah lainnya terutama kabupaten Majalengka. Dalang Sukarta yang kini tinggal di desa Bongas, kecamatan Sumber Jaya, kabupaten Majalengka, merupakan salah satunya, dalang Sukarta merupakan keturunan Ki Wentar dari jalur Mimi Mini, anak Mimi Mini yaitu Mimi Ina yang kemudian menikah dengan Ki dalang Entang dari desa Balad, kecamatan Dukupuntang, kabupaten Cirebon adalah ibu dan ayahnya, sehingga Ki Dalang Sukarta sekaligus menjadi cucu bagi Ki dalang Saca (anak dalang Wentar) dan dalang Soedji yang merupakan saudara neneknya yaitu dalang Mini. dalang lain yang terkenal dari gaya Palimanan adalah Ki dalang Ade Irfan.
Tari Topeng Cirebon gaya Palimanan pada babak Topeng Samba, kuda-kuda yang dilakukan merupakan gaya dari Ki Wentar (maestro tari Topeng Cirebon gaya Palimanan) sedangkan gerak yang sedang dilakukan disebut Seblak Tangan.
Tari Topeng Cirebon gaya Palimanan pada babak Topeng Tumenggung. Topeng Tumenggung yang sedang digunakan pada gambar adalah Topeng Tumenggung Bebarang, salah satu tumenggung gaya Ki Wentar yang sekarang dikembangkan oleh Ki Dalang Karta dari desa Bongas (sekarang sudah mekar menjadi desa Bongas Kulon dan desa Bongas Wetan), kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Majalengka
Kang Mer kakang tunggal buyut menggayakan topeng Tumenggung Magangdiraja dan Ki Empek (maestro kesenian Cirebon) ayah dari Ki Waryo (budayawan Cirebon) menggayakan topeng Jinggananom.
Tari Topeng Cirebon gaya Pekandangan adalah sebuah gaya tari Topeng Cirebon yang berkembang di wilayah desa Pekandangan, kecamatan Indramayu, kabupaten Indramayu, gaya Pekandangan merupakan salah satu dari sedikit gaya tari Topeng Cirebon yang ada di Indramayu selain gaya Tambi yang lestarikan oleh mimi Wangi Indriya.
Pembagian babak pada tari topeng Cirebon gaya Pekandangan menurut Riyani didasarkan pada interpretasi dari gambaran nafsu manusia.[6]
Riyani menjelaskan bahwa babak topeng Panji, Samba dan Patih merupakan sebuah interpretasi dari kesempurnaan manusia jika ditelaah dalam sudut pandang jiwa manusia sedangkan babak topeng Klana merupakan sebuah proyeksi dari gambaran jasmani seorang manusia yang masih mempunyai berbagai nafsu duniawi.
Dalang topeng gaya Pekandangan yang terkenal adalah mimi (bahasa Indonesia: ibu) Rasinah anak dari Ki Dalang Lastra dan ibunya seorang dalang ronggeng,[16] menurut Ki Waryo budayawan Cirebon, mimi Rasinah merupakan salah satu maestro tari Topeng Cirebon yang banyak menimba ilmu dari para seniornya terdahulu seperti dari mimi' Soedji (maestro tari Topeng Cirebon gaya Palimanan), kini setelah meninggalnya mimi Rasinah, pelestarian tari Topeng Cirebon gaya Pekandangan dilanjutkan oleh para muridnya, salah satunya adalah Aerli yang juga keturunannya.
Pada awalnya keluarga besar Ki dalang Lastra mengalami kesulitan besar ketika hendak mengembangkan tari topeng Cirebon gaya Pekandangan, kesulitan itu muncul dari penjajah yang berfikir bahwa aktivitas pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Pekandangan yang dilakukan oleh Ki Lastra merupakan sebuah aktivitas mata-mata oleh pejuang Republik Indonesia. Pada zaman penjajahan Jepang, kelompok tari yang dipimpin oleh Ki Lastra dibekukan hingga selanjutnya pada masa agresi militer Belanda, Ki Lastra tewas ditembak tentara Belanda dengan tuduhan yang sama dengan sebelumnya yaitu melakukan aktivitas mata-mata untuk Republik Indonesia.[17]
Usaha melestarikan gaya Pekandangan oleh keluarga besar Mimi Rasinah membuahkan hasil dengan dipentaskannya pagelaran tari Topeng yang berjudul Napak Tilas Sang Maestro Tari Topeng Pekandangan: Mimi Rasinah di teater terbuka balai pengelolaan taman budaya Jawa Barat pada maret 2014 yang diperagakan oleh ratusan dalang topeng gaya Pekandangan dari berbagai usia dan dihadiri oleh para peminat seni termasuk para murid mimi Rasinah dari berbagai negara.[18]
'Tari Topeng Cirebon gaya Randegan adalah sebuah gaya tari Topeng Cirebon yang berkembang di wilayah desa-desa Randegan kecamatan Jatitujuh, kabupaten Majalengka, menurut Ki Waryo (budayawan Cirebon) tari Topeng Cirebon gaya Randegan leluhurnya berasal dari wilayah Cirebon sama seperti tetangganya yaitu tari Topeng Cirebon gaya Beber yang leluhurnya juga berasal dari wilayah Cirebon.
Babak Rumyang pada tari Topeng Cirebon gaya Randegan dipentaskan di akhir pagelaran, menurut Ki Pandi Surono (budayawan Cirebon sekaligus maestro tari Topeng Cirebon gaya Beber) yang seacara adat bersebelahan dengan gaya Randegan, pada masa lalu pagelaran tari Topeng Cirebon terutama gaya Beber dilakukan pada malam hari dan babak Rumyang dipentaskan mendekati terbitnya matahari saat sinar matahari terlihat samar-samar (bahasa Cirebon: ramyang-ramyang) dari kata ramyang inilah kemudian babak ini dinamakan.
Penjelasan lebih lanjut tentang filosofi babak rumyang yang dipentaskan diahkhir setelah babak Topeng Klana yang merupakan proyeksi dari jiwa yang penuh nafsu dan emosi dijelaskan oleh Ki Waryo (budayawan Cirebon sekaligus dalang Wayang Kulit Cirebon gaya Kidulan (Palimanan) dan seorang ahli pembuat Topeng Cirebon) putera dari Ki Empek. Ki Waryo menjelaskan bahwa filosofi dari Rumyang terkait dengan sebuah proyeksi jiwa manusia yang sudah meninggalkan nafsu duniawinya dan menjadi manusia yang utuh (manusia harum) karena sudah tidak terbelenggu lagi dengan nafsu duniawi. Rumyang diartikan kedalam dua buah kata yaitu arum (bahasa Indonesia: harum) dan yang (bahasa Indonesia: manusia / orang) sehingga Rumyang diartikan secara harafiah menjadi manusia yang harum
Ki Rawita (maestro tari Topeng Cirebon gaya Randegan) menjelaskan bahwa sesungguhnya babak Rumyang pada gaya Randegan dipentaskan dengan tidak mengenakan sobra namun mengenakan Udeng khas gaya Randegan yang kemudian dia tunjukan pada pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Randegan di acara Festival Topeng Nusantara pada tahun 2006 yang bertempat di keraton Kasepuhan, kesultanan Kasepuhan, kota Cirebon.
Ki Rawita merupakan seorang maestro tari Topeng Cirebon gaya Randegan yang terkenal terutama pada pementasan babak Rumyang Udeng di acara Festival Topeng Nusantara pada tahun 2006 yang bertempat di keraton Kasepuhan, kesultanan Kasepuhan, kota Cirebon.
Tari Topeng Cirebon gaya Slangit utamanya terpusat disekitar desa Slangit, kecamatan Klangenan, kabupaten Cirebon, gaya inilah yang kemudian digunakan dan dikembangkan menjadi gaya tari Topeng Cirebon pada sanggar kesenian Sekar Pandan milik kesultanan Kacirebonan. Pada era tahun 80-an, sekitar tahun 1986 seorang peneliti asing bernama Pamela Rogers-Aguiniga telah mendokumentasikan secara mendetail berbagai dinamika dari tari Topeng Cirebon gaya Slangit melalui bimbingan Ki Sujana Arja (maestro tari Topeng Cirebon gaya Slangit).
Musik pengiring yang digunakan dalam tari Topeng Cirebon gaya Slangit merupakan musik-musik khas gamelan Cirebon, berikut urutannya;[19]
Pagelaran tari Topeng Cirebon gaya Slangit terdiri dari lima babak yaitu ;
Ki dalang Sudjana Arja menafsirkan pagelaran topeng Cirebon gaya Slangit kedalam tiga fase yaitu pertumbuhan jasmani manusia (dari mulai bayi hingga dewasa, suasana kebatinan manusia di mana manusia mempergunakan fungsi indranya dalam komunitas sosialnya dan makna keagamaan yang ditunjukan secara simbolis mengenai sifat dan perilaku manusia.[6]
Gerakan tari yang menjadi ciri khas dari gaya Slangit adalah gerakan bahu dan pinggang yang kuat serta gesit dan mendetail dalam setiap perpindahan geraknya, dikarenakan urutan gerakannyayang sangat mendetail maka gaya Slangit dijadikan sebuah acuan dalam pengajaran tari Topeng Cirebon dalam lingkup akademis.
Dalang tari pada gaya Slangit yang terkenal di masyarakat hampir seluruhnya merupakan keturunan dari keluarga Arja, salah satu yang masih aktif melestarikan dan juga sebagai pengajar formal adalah Keni Arja (saudara almarhum Ki Sujana Arja), perjuangan keluarga Arja pada masa lalu dalam mempertahankan gaya Slangit agar tetap lestari bukanlah sebuah hal yang mudah, setelah kematian enam saudaranya hanya tinggal Ki Sujana Arja dan Keni Arja yang berjuang mempertahankan gaya Slangit agar tetap lestari, karena dari sembilan orang anak keturunan Ki Dalang Arja hanya delapan orang yang kemudian menjadi seniman tari Topeng Cirebon, baik sebagai nayaga (penabuh gamelan) atau sebagai dalang topeng, di antara sembilan orang anak Ki Dalang Arja hanya Durman yang tidak menjadi seorang seniman Topeng Cirebonan.
Perjuangan almarhum Ki Sujana Arja dan adiknya Keni dalam upaya melestarikan gaya Slangit dimulai dari Bebarangan yakni mengamen topeng dari kampung ke kampung dan memenuhi panggilan pentas, ditengah terjepit dalam sulitnya mempertahankan tari Topeng Cirebon gaya Slangit yang sepi dari panggilan pentas, kelompok tari Topeng Cirebon juga pada masa itu (sekitar tahun 1960-an) dihadapkan dengan tuduhan bahwa mereka terkait dengan Gerakan Tiga Puluh September (G-30-S) sehingga menyebabkan ada beberapa kelompok tari Topeng Cirebon yang memilih untuk membubarkan diri karena takut dikait-kaitkan dengan gerakan tersebut, tetapi karena berniat untuk melestarikan gaya Slangit maka Ki Sujana Arja beserta saudaranya Keni Arja tetap melakukan pagelaran untuk membuktikan bahwa tari Topeng Cirebon gaya Slangit mampu bertahan dalam segala perubahan.[20]
Setelah meninggalnya Ki Dalang Sujana Arja, pelestarian tari Topeng Cirebon gaya Slangit diteruskan oleh kedua puteranya, yaitu Inu Kertapati dan Astori, serta dalang-dalang topeng Cirebon gaya Slangit lainnya seperti Miah, Maskeni, Karmina, Wiyono (putera dari Keni Arja), Nunung Nurasih, Oliah, Iin, dan Turini.
Tari Topeng Cirebon gaya Sinar Rancang merupakan salah satu gaya tari Topeng Cirebon yang masih dipentaskan di wilayah timur kabupaten Cirebon, penyebaran gaya Sinar Rancang terbatas disekitar desa Sinar Rancang, kecamatan Mundu, kabupaten Cirebon
'Tari Topeng Cirebon gaya Tambi adalah tari Topeng Cirebon yang penyebarannya berpusat di desa Tambi,kecamatan Sliyeg, kabupaten Indramayu, tari Topeng Cirebon gaya Tambi dan lainnya yang berada di wilayah kabupaten Indramayu secara umum memiliki kesamaan dengan tari Topeng Cirebon yang ada di wilayah kabupaten Cirebon, kabupaten Majalengka serta kabupaten Subang yakni dengan adanya lima babak tarian, perbedaannya hanyalah terdapatnya sub-babak Klana Udeng yang merupakan kepanjangan dari babak Klana.
Pakaian penari (bahasa Cirebon: dalang topeng) pada gaya Tambi hampir mirip dengan gaya-gaya tari Topeng Cirebon lainnya, perbedaannya adalah pada pakaian ketika mementaskan sub-babak Klana Udeng, pada saat mementaskan Klana Udeng, dalang topeng tidak mengenakan penutup kepala (bahasa Cirebon: sobra) melainkan hanya mengenakan ikat kepala dari kain (bahasa Cirebon: udeng)[21]
Musik pengiring pada gaya Tambi hampir serupa dengan gaya Slangit, perbedaannya adalah pada babak Klana selain diiringi oleh lagu Gonjring juga diiringi oleh lagu Sarung Ilang kemudian pada sub-babak Klana Udeng lagu pengiringnya adalah lag-lagu khas dari Indramayu atau dikenal dengan lagu dermayonan
Gerakan tari yang khas pada gaya Tambi adalah ketika mementaskan sub-babak Klana Udeng, pada saat itu tarian dipentaskan dengan mempertunjukan keahlian atraksi Dalang Topengnya, seperti atraksi menari di atas tambang sambil mengambil koin.
Babak tarian yang ada pada gaya Tambi sama dengan gaya-gaya yang ada di wilayah kabupaten Cirebon, kabupaten Majalengka dan kabupaten Subang, yakni Panji, Pamindo, Rumyang, Tumenggung dan Klana. Perbedaannya adalah dengan adanya sub-babak Klana Udeng yakni kepanjangan dari babak Klana.
Dalang Topeng yang terkenal dari gaya Tambi salah satunya adalah Nyai Wangi Indria, anak dari Ki Dalang Taham (dalang wayang Kulit Cirebon dan cucu dari Ki Wisad (seniman tradisional).
Pada era sebelum tahun 70-an, menurut Ki Waryo (maestro tari Topeng Cirebon gaya Palimanan) terdapat juga topeng-topeng lainnya yang menjadi pelengkap babak dalam pagelaran tari Topeng Cirebon, mereka adalah
Pada era sekitar tahun 60-70-an topeng-topeng pelengkap seperti Sentingpraya masih dipentaskan pada pagelaran dinaan (bahasa Indonesia: pagelaran siang) tari Topeng Cirebon, pada periode tersebut menurut Ki Waryo, babak tumenggung Mangangdiraja melawan Jinggananom akan diteruskan adegannya dengan mementaskan adegan Aki-aki perangan di mana tokohnya adalah Sentingpraya, ayah dari Jinggananom, dikarenakan Sentingpraya diwujudkan sebagai seorang tokoh berdarah Tionghoa, maka pada pagelaran tari Topeng Cirebon Sentingpraya disebut juga dengan nama Babah Sentingpraya.
Pada tari Topeng Cirebon, yang dimaksud proses pewarisan keahlian adalah mewariskan kemampuan dari generasi yang lebih tua kepada yang lebih muda, proses pewarisan atau pengalihan pengetahuan ini erat hubungannya dengan praktik adat istiadat dalam konteks sebuah desa dan sesuai dengan lingkungan, adat, serta kepercayaan setempat.[22] Secara garis besar proses pewarisan keahlian dalam tari Topeng Cirebon dibagi kedalam dua metode, yakni proses pewarisan secara tradisional dan proses pewarisan secara modern.
Proses pewarisan secara tradisional biasanya dilakukan dengan cara penyampaian lisan, sang murid dalam proses tradisional ini biasanya selalu mengikuti pagelaran tari topeng yang dilakukan oleh gurunya, sehingga ia dituntut untuk mendengarkan dan melihat apa yang dilakukan gurunya diatas panggung pagelaran, pada proses ini, murid belajar dengan cara mendengarkan, melihat dan kemudian mengembangkan sendiri pola-pola gerakan tari Topengnya miliknya, dikarenakan pada proses tradisional ini murid belajar langsunhg dari gurunya dipanggung, maka dalam istilah adat Cirebon proses pembelajaran model seperti ini dikenal dengan istilahguru panggung[23]
Proses pewarisan keahlian dalang Tari Topeng Cirebon kepada murid atau keturunannya tidak selalu mengajarkan gerak tarian yang sama percis, menurut Ki Sujana Arja (maestro tari Topeng Cirebon gaya Slangit) pengajaran gerakan tarian Topeng ada yang sengaja dibedakan gerakannya dari guru kepada muridnya, hal ini terbukti dari adanya gaya Celeng dan gaya Cipunegara yang berasal dari keluarga yang sama yaitu Ki Kartam (maestro tari Topeng Cirebon gaya Celeng) dan Ki Panggah (maestro tari Topeng Cirebon gaya Cipunegara) yang merupakan kakak–adik.
Gerakan tangan dan tubuh yang gemulai, serta iringan musik yang didominasi oleh kendang dan rebab, merupakan ciri khas lain dari tari topeng.
Kesenian Tari Topeng ini masih eksis dipelajari di sanggar-sanggar tari yang ada, dan masih sering dipentaskan pada acara-acara resmi daerah, ataupun pada momen tradisional daerah lainnya.
Salah satu maestro tari topeng adalah Mimi Rasinah, yang aktif menari dan mengajarkan kesenian Tari Topeng di sanggar Tari Topeng Mimi Rasinah yang terletak di desa Pekandangan, Indramayu, Indramayu.[24] Sejak tahun 2006 Mimi Rasinah menderita lumpuh, tetapi ia masih tetap bersemangat untuk berpentas, menari dan mengajarkan tari topeng hingga akhir hayatnya, Mimi Rasinah wafat pada bulan Agustus 2010 pada usia 80 tahun.[24]
©2024 iStockphoto LP. Desain iStock adalah merek dagang iStockphoto LP.
Keunikan tari klasik
Secara menyeluruh, tari klasik memiliki keunikan pada setiap unsurnya. Seperti unsur gerak, properti hingga peraturan tariannya. Pada umumnya, tari klasik akan menggunakan gerakan yang lebih anggun serta lemah lembut dibandingkan gerakan yang kuat.
Kemudian, dari segi properti, pada umumnya tari klasik akan menggunakan properti yang telah disesuaikan dengan kebutuhan dari pementasan tari. Setiap properti tari juga memiliki makna dan bukan hanya sekadar sebagai pelengkap.
Contohnya seperti pada tari Cakalele yang menggunakan properti pedang yang dipegang dengan tangan kanan. Pedang tersebut melambangkan martabat dari masyarakat Maluku yang harus senantiasa dijaga hingga mati.
Selain dari properti, peraturan dalam tari klasik juga lebih ketat dan pakem dibandingkan tari pergaulan biasa. Contohnya seperti pada tari Lego-lego, di mana para penari harus menari dengan mengelilingi Mezbah yang disakralkan.
Seluruh aspek dalam tari klasik tersebut, tergolong unik dan tidak selalu muncul pada setiap tarian.